NASEHAT & HARAPAN IBU KEPADA ANAKNYA

Share it:

terjoko.blogspot.com - surat buat anakku tersayang
---------------------------------------------

Untuk anakku yg ku sayangi di bumi Allah ta’ala
Segala puji ku panjatkan ke hadirat Allah ta’ala, yg telah memudahkan ibu untk beribadah kepada-Nya. Sholawat serta salam, ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, keluarga, dan para sahabatnya.
Wahai anakku … Surat ni datang dari ibumu, yg selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini. Setiap kali menulis, tiap itu pula gores tulisan ni terhalangi oleh tangis. Dan tiap kali menitikkan air mata, tiap itu pula, hati ni terluka.
Wahai anakku …
Sepanjang masa yg telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yg cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu, dan telah engkau robek pula perasaannya.

Wahai anakku … 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dlm kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku, dan semua itu ibu sangat mengerti arti kalimat tersebut.
Bercampur rasa gembira dan bahagia dlm diri ini, sebagaimana ia adlh awal mula dari perubahan fisik dan emosi ibu. Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur, berdiri, makan, dan bernafas dlm kesulitan. Akan tetapi, itu semua tak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu. Aku mengandungmu wahai anakku, pd kondisi lemah di atas lemah. Bersamaan dgn itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjalan kakimu, / balikan badanmu di perutku. Aku merasa puas, tiap aku menimbang diriku, karena bila semakin hari semakin berat perutku, berarti dgn begitu engkau sehat wal afiat di dlm rahimku.
Anakku …

Penderitaan yg berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pd malam itu, yang
aku tak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yg tidak
tertahankan, dan merasakan takut yg tak bisa dilukiskan. Sakit itu
berlanjut, sehingga membuatku tak dpt lagi menangis. Sebanyak itu pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya
engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata
kebahagiaanku dgn air mata tangismu. Ketika engkau lahir, menetes air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah, dgn bertambah kuatnya sakit.
Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yangada di kerongkongan.

Wahai anakku … Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dgn hatiku, memandikanmu dgn kedua tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku, kuberikan kepadamu. Aku tak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pd tiap harinya, agar aku selalu melihat
senyumanmu. Kebahagiaanku tiap saat, adlh tiap permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku. Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yg tak pernah lalai… menjadi dayangmu yg tak pernah berhenti… menjadi pekerjamu yg tak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu. Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yg tegap, ototmu yg kekar, kumis dan jambang tipis
telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…

Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula hari kepergianmu. Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dgn duka. Tangis telah bercampur pula dgn tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan sedih karena
engkau adlh pelipur hatiku, yg akan berpisah sebentar lagi dari diriku. Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dgn berat, kiranya setelah perkawinan itu, aku tak lagi mengenal dirimu.

Senyummu yg selama ni menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah sirna
bagaikan matahari yg ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yg selama ni kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti batu yg dijatuhkan ke dlm kolam yg hening, dgn dedaunan yg berguguran, aku benar-benar tak mengenalmu lagi, karena engkau telah
melupakanku dan melupakan hakku. Terasa lama hari-hari yg ku lewati, hanya untk melihat rupamu.
Detik demi detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku seakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untk menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang yg datang itu. Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yg akan menelponku. Setiap suara kendaraan yg lewat, aku merasa bahwa engkaulah yg datang.

Akan tetapi semua itu tak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku
hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya
kesedihan dari semua keletihan yg selama ni ku rasakan, sambil
menangisi diri dan nasib yg memang ditakdirkan oleh-Nya.

Anakku…
Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yg bukan-bukan.
Yang ibu pinta kepadamu: Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam
kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yg malang ni sebagai pembantu di
rumahmu, agar bisa jg aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula
dgn hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan dgn ibumu. Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandangwajahmu. Yang ibu tagih kepadamu: Jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dpt sekali-kali singgah ke sana, sekalipun hanya sedetik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yg tak pernah engkau kunjungi. Atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.

Anakku…
Telah bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku telah dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…Akan tetapi, yg tak pernah sirna -wahai anakku- adlh cintaku kepadamu… masih seperti dulu… masih seperti lautan yg tak pernah kering… masih seperti angin yg tak pernah berhenti… Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikan
dgn kebaikan, sedangkan ibumu, mana balas budimu, mana balasan baikmu?! bukankah air susu seharusnya dibalas dgn air serupa?! bukan sebaliknya air susu dibalas dgn air tuba?! Dan bukankah Allohta’ala, telah berfirman: Bukankah balasan kebaikan, melainkan kebaikan yg serupa?! Sampai
begitukah keras hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah
berlalunya hari dan berselangnya waktu.

Wahai anakku…
Setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dgn hidupmu, tiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak?! Karena engkau adlh buah dari kedua tanganku… Engkau adlh hasil dari keletihanku… Engkaulah laba dari semua usahaku… Dosa apakah yg telah ku perbuat, sehingga engkau jadikan diriku musuhbebuyutanmu?! Pernahkah suatu hari aku salah dlm bergaul denganmu?! Atau pernahkah aku berbuat lalai dlm melayanimu?! Tidak dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang
terhina dari sekian banyak pembantu-pembantumu yg mereka semua telah engkau beri upah?! Tidak dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?! Dapatkah engkau sekarang menganugerahkan sedikit kasih sayang demi mengobati derita orang tua yg malang ini?!
Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yg berbuat baik. Wahai anakku… Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tak menginginkan yg lain.
Wahai anakku…

Hatiku terasa teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau
sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan, bahwa engkau adalah
laki-laki yg supel, dermawan dan berbudi.

Wahai anakku…
Apakah hatimu tak tersentuh, terhadap seorang wanita tua yg lemah, binasa dimakan oleh rindu berselimutkan kesedihan, dan berpakaian kedukaan?! Mengapa? Tahukah engkau itu?! Karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Karena engkau telah membalasnya dgn luka di hatinya… Karena engkau telah pandai menikam dirinya dgn belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… Karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim.
Wahai anakku…
Ibumu inilah sebenarnya pintu surga, maka titilah jembatan itu menujunya… Lewatilah jalannya dgn senyuman yg manis, kemaafan, dan balas budi yg baik… Semoga aku bertemu denganmu di sana, dgn kasih sayang Alloh ta’ala sebagaimana di dlm hadits: Orang tua adlh pintu surga yg paling tinggi. Sekiranya engkau mau, sia-siakanlah pintu itu, / jagalah! (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dishohihkan oleh Albani)

Anakku…
Aku mengenalmu sejak dahulu… semenjak engkau telah beranjak dewasa… aku tahu engkau sangat tamak dgn pahala… engkau selalu cerita tentang keuatamaan berjamaah… engkau selalu bercerita terhadapku tentang keutamaan shof pertama dlm sholat berjamaah… engkau selalu mengatakan tentang keutamaan infak, dan bersedekah…Akan tetapi satu hadits yang
telah engkau lupakan… satu keutamaan besar yg telah engkau lalaikan…yaitu bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdulloh bin Mas’ud, ia mengatakan:
Aku bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-: Wahai
Rosululloh, amal apa yg paling mulia? Beliau menjawab: sholat pada
waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau
menjawab: Kemudian berbakti kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi:
Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian jihad di
jalan Alloh. Lalu aku pun diam (tidak bertanya) kepada Rosululloh
-shollallohu alaihi wasallam- lagi, dan sekiranya aku bertanya lagi,
niscaya beliau akan menjawabnya.
Itulah hadits Abdulloh bin Mas’ud…

Wahai anakku…
Inilah aku, ibumu… pahalamu… tanpa engkau harus memerdekakan budak / banyak-banyak berinfak dan bersedekah… aku inilah pahalamu… Pernahkah engkau mendengar, seorang suami yg meninggalkan keluarga dan anak-anaknya, berangkat jauh ke negeri seberang, ke negeri entah berantah untk mencari tambang emas, guna menghidupi keluarganya?! Dia salami satu persatu, dia ciumi isterinya, dia sayangi anaknya, dia mengatakan: Ayah kalian, wahai anak-anakku, akan berangkat ke negeri yg ayah sendiri tak tahu, ayah akan mencari emas… Rumah kita yang
reot ini, jagalah… Ibu kalian yg tua renta ini, jagalah…

Berangkatlah suami tersebut, suami yg berharap pergi jauh, untuk
mendapatkan emas, guna membesarkan anak-anaknya, untk membangun istana
mengganti rumah reotnya. Akan tetapi apa yg terjadi, setelah tiga
puluh tahun dlm perantauan, yg ia bawa hanya tangan hampa dan
kegagalan. Dia gagal dlm usahanya. Pulanglah ia kembali ke
kampungnya. Dan sampailah ia ke tempat dusun yg selama ni ia
tinggal.

Apa lagi yg terjadi di tempat itu, setibanya di lokasi rumahnya, matanya
terbelalak. Ia melihat, tak lagi gubuk reot yg ditempati oleh
anak-anak dan keluarganya. Akan tetapi dia melihat, sebuah perusahaan
besar, tambang emas yg besar. Jadi ia mencari emas jauh di negeri
orang, kiranya orang mencari emas dekat di tempat ia tinggal.
Itulah perumpaanmu dgn kebaikan, wahai anakku…
Engkau berletih mencari pahala… engkau telah beramal banyak… tapi
engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yg maha besar… di
sampingmu ada orang yg dpt menghalangi / mempercepat amalmu
masuk surga…

Ibumu adlh orang yg dapat
menghalangimu untk masuk surga, / mempercepat amalmu masuk surga…
Bukankah ridloku adlh keridloan Alloh?! Dan bukankan murkaku adalah
kemurkaan Alloh?! Anakku…
Aku takut, engkaulah yg dimaksud oleh Nabi Muhammad -shollallohu alaihi
wasallam- di dlm haditsnya:

Celakalah seseorang, celakalah seseorang, dan celakalah seseorang! Ada yang
bertanya: Siapakah dia wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Dialah orang
yg mendapati orang tuanya saat tua, salah satu darinya atau
keduanya, akan tetapi tak membuat dia masuk surga. (HR. Muslim 2551)
Celakalah seorang anak, jika ia mendapatkan kedua orang tuanya, hidup bersamanya, berteman dengannya, melihat wajahnya, akan tetapi tak memasukkan dia ke surga.

Anakku…
Aku tak akan angkat keluhan ni ke langit, aku tak akan adukan
duka ni kepada Alloh, karena jika seandainya keluhan ni telah
membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan, yg tak ada obatnya dan tak ada tabib yg dpt menyembuhkannya… Aku tak akan melakukannya wahai anakku… tidak… bagaimana aku akan melakukannya, sedangkan engkau adlh jantung hatiku… bagaimana ibu ni kuat menengadahkan tangannya ke langit, sedangkan engkau adlh pelipur lara hatiku… bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab, padahal engkau bagiku adlh kebahagiaan hidupku…Bangunlah nak… bangunlah… bangkitlah nak… bangkitlah… uban-uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa, sehingga engkau akan menjadi tua pula.
Sebagaimana engkau akan berbuat, seperti itu pula orang akan berbuat kepadamu. Ganjaran itu sesuai dgn amal yg engkau telah tanamkan. Engkau akan memetik sesuai dgn apa yg engkau tanam. Aku tak ingin engkau menulis surat ini… aku tak ingin engkau menulis surat yg sama, dgn air matamu kepada anak-anakmu, sebagaimana aku telah menulisnya kepadamu.

Wahai anakmu…
Bertakwalah kepada Allah… takutlah engkau kepada Allah… berbaktilah kepada ibumu…peganglah kakinya, sesungguhnya surga berada di kakinya… basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya… kencangkan tulang ringkihnya… dan kokohkan badannya yg telah lapuk…
Anakku…
Setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu. Apakah engkau sadar dan engkau akan kembali, / engkau akan merobeknya.

NASEHAT & HARAPAN IBU KEPADA ANAKNYA
Wa shollallohu ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi wa shohbihi wa sallam. Dari Ibumu yg selalu mencintaimu.

source : http://kismiwati.blogspot.com, http://dailymotion.com, http://instagram.com

Share it:

Popular on September

Post A Comment:

0 comments: