terjoko.blogspot.com - Dibanding zaman sekarang, orang dahulu penuh susah payah untk bisa berangkat haji. Sebab, dulu masih pakai kapal laut sehingga harus berbulan-bulan berada di tengah laut. Belum lagi, berbagai aral yg menghadang, seperti yg dialami oleh bapak yg satu ini.
Sebut saja namanya Kgs Abu Bakar Hamid. Namanya mengingatkan kita pd Khalifah Islam yg pertama, Abu Bakar al-Shiddiq. Tapi, dia hanyalah orang biasa, bukan pejabat / anak keturunan darah biru. Profesinya hanyalah seorang petani kelapa yg diolahnya menjadi kopra. Namun, jangan salah, dia memiliki beberapa anak buah yg membantu pekerjaannya itu.
Sebagai seorang petani kepala, sebenarnya usia Abu Bakar saat itu masih terlalu muda, yaitu anak SMA. Namun, jiwa petani yg ditanamkan orang tua sejak kecil ikut menenggelamkannya pd dunia perkebunan (tani-menani) tersebut. Dari hasil kebunnya ini, kehidupan Abu Bakar dan keluarganya pun cukup bahagia dan mapan. Maklum, pohon-pohon kelapanya sangat banyak dan berdiri di atas lahan puluhan hektar. Bisnis ni kepunyaan keluarganya.
Pada tahun 1960-an, Abu Bakar muda naik haji bersama abang dan keluarga yg lainnya. Tidak seperti sekarang yg harus menunggu lama, saat itu ia langsung berangkat beberapa saat setelah mendaftarkan hajinya. Maklum, belum banyak orang yg naik haji dan transportasinya pun masih menggunakan kapal laut.
Jiwanya masih muda saat itu dan sejatinya ia sedang senang-senangnya bermain dgn teman sesama. Namun, saat dipastikan dirinya diajak oleh sang abang berangkat ke tanah suci, ia pun merasakan kebahagiaan yg tak terkira. Ia bisa jalan-jalan ke luar negeri, apalagi tujuannya untk menunaikan rukun Islam yg kelima. Tidak itu saja, Ka'bah yg selama ni hanya bisa dilihatnya lewat gambar-gambar yg menempel di dinding, sebentar lagi akan bisa dilihatnya secara langsung. Bahkan, jika diizinkan Allah, ia akan bisa menyentuhnya. Menyentuh kain penutupnya (kelambu), setidaknya.
Haru dan bahagia menyelimuti pikiran dan benak Abu Bakar muda kala itu. Maka setelah jatuh waktunya, ia bersama abang dan keluarga yg lainnya pun berangkat menggunakan kapal laut, transportasi satu-satunya yg tersedia kala itu. Pemerintah belum menyediakan sarana transportasi udara. Maka bisa dibayangkan berapa waktu yg dibutuhkan untk bisa sampai di Makkah al-Mukarramah?
Atas dasar itulah, semua perlengkapan perjalanan dipersiapkannya mulai dari hal yg sederhana, yaitu selimut yg tebal karena pasti akan menghadapi dinginnya udara malam hingga sampai yg paling sederhana, yaitu alat kebutuhan memasak. Sebab, di sepanjang perjalanan, para calon haji diwajibkan untk memasak sendiri.
Waktu terus berjalan. Hari berganti bulan dan Abu Bakar muda masih berada di kapal lautnya. Selama itu pula, ia merasakan panasnya terik matahari di siang hari dan dinginnya angin malam hari, hingga membuatnya sangat terbiasa dgn hal semacam itu. Kapal laut pun seolah menjadi rumah keduanya. Sebab, di tempat itu pula ia makan dgn memasak sendiri, yg berasnya diberi oleh pemerintah.
Bete alias tak kerasan kadang dirasakannya. Maklum, jiwanya masih muda, tak sesabar orang tua / orang yg usianya lebih tua darinya. Namun, niat mulia untk bisa sampai di tanah suci, membuatnya berusaha untk menepikan semua hal yg membuatnya tak kerasan tersebut. Suka / tak suka, keadaan getir selama berada di tengah laut harus dihadapinya.
Dan sebagai orang kampung, Abu Bakar sudah terbiasa menghadapi situasi yg menekan tersebut. Namun, karena usianya yg masih muda, ia pun tak terlalu banyak dilibatkan dlm pekerjaan-pekerjaan rumah tangga / dapur di kapal. Masih ada orang lain yg meringankan bebannya.
Tidak terasa, sudah mendekati 3 bulan Abu Bakar berada di kapal. Selama itu pula ia melewati berbagai perkampungan / kawasan yg mungkin selama ni baru pertama kali ia lihat. Namun, dari sekian pengalaman manis selama di atas kapal, hal yg tak terlupakan adlh saat ia melewati laut merah yg konon menjadi pemakaman umum bagi Raja Fir'aun dan tentaranya yg durhaka kepada Allah. Selama ni ia hanya mendengar dari kisah-kisah yg dituturkan sang guru / buku pelajaran sekolah yg dibacanya. Kini, laut merah itu telah ada di hadapannya dan tangannya bisa saja menyentuh airnya, tapi ia tak memberanikan diri.
Tentu, hal yg paling tak bisa dilupakannya adlh saat kapalnya melewati area konflik Pakistan dan India. Rasa deg-degan dan khawatir kerapkali menghantui seluruh penumpang kapal, tak terkecuali dirinya. Sebab, dari atas kapal mereka kerapkali mendengar suara dentuman bahan peledak / martil yg ditembakkan oleh para tentara / sipil. Bahkan, mereka kadang melihat dgn mata mereka sendiri senjata-senjata yg ditembakannya melintas langit-langit di atas kapalnya. Sangat mengerikan sekali!
Menurut Abu Bakar, tak sedikit kapal-kapal pedagang menjadi korban penembakan kedua belah pihak. Korban jiwa pun tak terelakkan kembali. Jika terlambat saja kami memberikan signal kalau kami adlh kapal ibadah haji, mungkin kapal kami jg sudah ditembak, kisah Abu Bakar.
Meski telah memberikan signal kapal haji, perasaan khawatir itu tetap saja terus menghantui sepanjang perjalanan mereka, sebelum benar-benar melewati perbatasan / areal konflik tersebut. Pertanyaan kecilnya mungkin kadang merayap di pikirannya, kenapa kapal lautnya harus melewati area itu? Hingga kini ia pun tak menemukan jawabannya. Dan jawaban yg paling bisa dimengerti adlh mungkin tak ada jalan lain, selain melewati arah itu.
Tapi, berkah pertolongan Allah akhirnya kapal laut yg ditumpanginya pun selamat dari terjangan peluru / martil dari kedua belah pihak yg sedang bertikai. Mereka pun bisa sampai di Masjidil Haram untk beribadah haji mengelilingi Ka'bah dan ziarah ke Makam Rasulullah. Pedihnya berada di kapal laut terbayarkan lunas dgn melihat keagungan kota Mekkah dgn segala keajaibannya di dalam.
Menurut Abu Bakar, selama naik haji ia pertama kalinya bisa melihat kain penutup Ka'bah dibuka untk dicuci. Ia pun bisa melihat dari pintu, kalau di dlm bangunan berbentuk kubus tersebut ada tiang-tiang penyanggah. Ia pun bisa mencium hajar aswad, yg konon dulunya berwarna putih tersebut. Bahkan, makam Rasulullah dan gua hira pun bisa disinggahinya. Sebuah pengalaman spiritual yg tak bisa dilupakan tentunya. Karena itu, saat berada di Masjid Nabawi, ia sempat menangis karena tak pernah berhenti mengagumi keagungan sekitar Makkah al-Mukarramah. Rasanya ia ingin kembali lagi ke sana jika Tuhan berkehendak.
Setelah beberapa hari berada di kota Makkah dan Madinah untk naik haji, Abu Bakar pun pun kembali ke kampung halaman. Kini, gelar haji pun sudah disandangnya. Namun, ia tak boleh jumawa. Sebab, haji hanyalah sebuah gelar duniawi. Pada hakekatnya, yg paling penting adlh ibadah dan amal saleh yg selalu dilakukannya tiap waktu.
Kini, di usianya yg sudah tak muda lagi (64 th), hidup kakek Abu Bakar banyak dihabiskan di Masjid al-Hikmah, Kedaton, Bandar Lampung. Sehari-hari ia menjadi tukang adzan (muadzin) dan mengurus keperluan masjid. Hidupnya benar-benar dihabiskan untk akherat. Bagaimana usaha kopranya, semuanya tinggal kenangan. Seiring waktu, rupanya usaha itu mulai ditinggalkannya dan lebih memilih mengabdi pd masjid. Ya, kakek Abu Bakar telah bahagia dgn dunianya.
Demikian kisah haru biru seseorang yg tiga bulan berada di atas kapal untk naik haji. Dengan kondisi yg berbeda dgn sekarang, yaitu naik pesawat terbang bagi jamaah haji, sejatinya ibadah haji sekarang harus dilakoni lebih khusyuk dan khidmat. Semoga!
Navigation
Post A Comment:
0 comments: